Seperti halnya makanan China lainnya di Indonesia, kue keranjang juga mengalami adaptasi dengan budaya lokal, khususnya Jawa.
Disebut dengan kue keranjang karena dicetak menggunakan keranjang bambu berbentuk bundar. Kue ini juga dibungkus dengan daun pisang yang berfungsi sebagai pengawet sekaligus memberi aroma harum yang enak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Ahli sejarah Semarang, Jongkie Tio mengatakan bisa dikatakan masuknya kue keranjang di Indonesia bersamaan dengan masuknya warga China yang berlayar ke Indonesia pada tahun 400-an.
"Tionghoa itu masuk Indonesia tahun 400-an. Saat itu masih pria yang datang. Kalau di Semarang itu mendaratnya di daerah Mangkang. Nama Mangkang itu dari nama kapal China Wangkang," kata Jongkie.
Kue manis lengket itu merupakan hantaran wajib di klenteng. Sedangkan dulu ketika pelaut China mendarat, mereka akan mendirikan klenteng kecil untuk ucapan syukur pada Dewa Bumi.
![]() |
"Orang Tionghoa kalau mendarat berterimakasih kepada Dewa Bumi, membuat klenteng. Di daerah pantai pasti ada klenteng kecil," pungkasnya.
Wujud kue Keranjang yang masih asli memang yang dibalut dengan daun pisang. Sedangkan kini sudah ada yang dibungkus plastik bahkan dengan varian rasa. Meski demikian maknanya tetap tidak berubah.
"Rasa manisnya itu dimaksudkan agar berpikiran baik dan bicara yang manis. Lengketnya itu merupakan satu kesatuan, dengan falsafah pliketnya itu (lengket)," ujar Jongkie.
![]() |
Sejak pertama masuk dibawa oleh pelaut China, kue keranjang pun berasimilasi dengan budaya dan kuliner lokal. Meski kue keranjang sendiri tetap bertahan, tapi ada beberapa kuliner Indonesia yang merupakan turunan dari kue keranjang.
"Turunan kue keranjang itu ada wajik, jenang, dodol, dan lainnya," jelas Jongkie.
Seperti diketahui hampir setiap daerah di Indonesia punya jenis jenang dan dodol berbeda. Diberi paduan rasa gula merah, wijen hingga aneka buah-buahan tropis. Ini sebagai bukti citarasa lokal beradaptasi dengan kue keranjang.
(adr/odi)