Jadi Primadona, Kopi Sempat Picu Perang Dua Kerajaan di Sulsel

Jadi Primadona, Kopi Sempat Picu Perang Dua Kerajaan di Sulsel

Muhammad Taufiqqurrahman - detikFood
Jumat, 24 Agu 2018 09:40 WIB
Foto: iStock
Makassar - Kopi sudah jadi primadona di Sulawesi Selatan (Sulsel) sejak abad ke-17. Saking berharganya kopi, dua kerajaan sempat berperang memperebutkan kopi.

Meluasnya kopi di Sulsel, tidak lepas dari program tanam paksa Hindia-Belanda di Abad ke-19. Namun jauh sebelum masa ini, perang kopi telah berlangsung puluhan tahun di tanah Sulsel.

Baca Juga: Kopi Lokal yang Nikmat dan Murah Bisa Dinikmati di Kedai Kopi Legendaris Ini

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tahun 1830, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Johannes van den Bosch menerapkan aturan Cultuurstelsel. Aturan ini mewajibkan setiap daerah kolonisasi Kerajaan Belanda untuk menanam komiditi ekspor khususnya lada, cengkeh, nila, termasuk kopi.
Jadi Primadona, Kopi Sempat Picu Perang Dua Kerajaan di SulselFoto: iStock
Kopi di Sulsel, sejatinya masuk di sekitar abad-17 melalui pedagang-pedagang Arab yang berlabuh di Sulawesi dan dikembangkan di wilayah Toraja dan Gowa. Bagi masyarakat umum, biji 'emas hitam' yang paling terkenal di Sulsel adalah dari Tana Toraja dengan jenis kopi Arabika.

Peracik kopi dan pemilik Warung Kopi Toraja, Sulaeman Miting bercerita soal perkembangan kopi yang juga memiliki cerita kelam di dalamnya. Sulaeman menyebutnya sebagai 'perang kopi', jauh sebelum adanya praktik tanam paksa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

"Perang kopi ini terjadi sekitar tahun 1800-an. Bukan dalam artian perang harga, tetapi juga perang sesungguhnya terkait kopi," kata Sulaeman saat berbincang dengan detikcom, Kamis (23/8/2018).
Jadi Primadona, Kopi Sempat Picu Perang Dua Kerajaan di SulselFoto: iStock
Jauh sebelum kedatangan Hindia-Belanda, bij-biji kopi pertama dibawa oleh para pedagang Islam yang berlabuh di tanah Sulawesi dan kemudian dibawa ke wilayah Tana Toraja dan Enrekang sekitar tahun 1600-an.

Kopi jenis Arabika dikembangkan masyarakat lokal dan disebut sebagai minuman berenergi oleh penguasa setempat. Masyarakat Toraja menyebut kopi dengan nama lokal yaitu 'Kaa.'

Sementara para saudagar Arab menyebut kopi dengan nama Kawa dan asal muasal kopi yang dibawa bangsa Arab ini dari Ethopia yang di wilayah asalnyanya dinamana Qawfa.

Karena khasiat dan aromanya yang harum, penguasa-penguasa lokal, khususnya dari Kerajaan Luwu disebut mengembangkan kopi ini. Mereka bekerja sama dengan pemilik wilayah di Tana Toraja untuk mengamankan jalur distribusi dan perdagangan kopi. Wilayah pertama tumbuhnya kopi ada di Sadan dan Pulu-pulu.
Jadi Primadona, Kopi Sempat Picu Perang Dua Kerajaan di SulselFoto: iStock
"Jadi ada orang lewat di wilayahnya ada semacam retribusi semua. Dengan sendirinya para sudagar erat hubungannya dengan penguasa setempat untuk menjaga jalur kopinya dari sentra kopi," terangnya.

Di masa itu ada dua kubu kerajaan yang milirik kopi sebagai perdagangan utama mereka. Kubu pertama yaitu Kerajaan Sidenreng, Soppeng. Kubu kedua adalah kerajaan Luwu dan Bone.

"Kedua kubu inilah yang menjadi asal muasal terjadinya perang. Karena disebabkan oleh penguasaan kopi, maka disebut sebagai perang kopi," ucapnya.

Kedua kelompok ini masing-masing mengusai jalur-jalur perdagangan dan distribusi kopi, yang dibagi dalam dua jalur yaitu Barat milik kerajaan Sindenreng, serta jalur Timur milik kerajaan Luwuk.

Hingga kemudian jalur perdagangan Luwuk sepi karena kerajaan Sindenreng membentuk pasar yang membuat jalur perdagangan ke kerajaan Luwu sepi.

"Pemicu ini yang membuat terjadinya serangan pertama soal perebutan jalur kopi," kata Sulaeman.

Baca Juga: Kopi Kultur, Persinggahan Asyik untuk Pencinta Kopi Lokal




Tonton juga 'Menikmati Segelas Kopi di Museum Laskar Pelangi':

[Gambas:Video 20detik]

(sob/adr)

Hide Ads