Riuh kecil terdengar di belakang meunasah Desa Bueng Bak Jok, Kecamatan Kutabaro, Aceh Besar, Aceh. Sekelompok pria berbagi tugas. Ada yang mengaduk-aduk bahan dalam sebuah belanga besar menggunakan sebilah bambu. Ada juga yang mengatur api agar tetap normal.
Siang itu, para pria ini bertugas memasak ie bu peudah, sejenis bubur untuk menu berbuka puasa. Sajian mirip kanji rumbi ini berwarna cokelat muda dan rasanya gurih nikmat. Bagi warga di sana, memasak ie bu peudah sudah menjadi tradisi turun temurun sejak zaman dulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Sajian ie bu peudah hanya dibikin selama bulan Ramadan. Untuk memasaknya, butuh waktu sekitar dua hingga tiga jam agar bubur itu siap untuk disantap. Biasanya, proses produksi dimulai sekitar pukul 14.00 WIB dan diawali dengan mengolah bahan.
"Yang bertugas memasak ie bu peudah ini adalah pria berusia di bawah 50 tahun atau minimal sudah lulus SMA," kata Kepala Desa Bueng Bakjok Hafidh Maksum saat ditemui, Rabu (23/5/2018).
Untuk memasak ie bu peudah, bahan utamanya yaitu beras. Sebagian beras ditumbuk kemudian dimasukkan ke dalam belanga bersama kunyit dan lada. Sebagian lainnya dimasukkan begitu saja ke dalam belanga.
Bahan lain adalah kelapa yang diparut dan ada juga yang dipotong-potong berukuran kecil. Dalam sehari, masyarakat di sana memasak dengan ukuran delapan bambu beras. Rinciannya, enam bambu beras biasa dan dua bambu beras campuran. Dari jumlah beras ini, menghasilkan sebanyak 270 porsi ie bu peudah.
![]() |
Selain itu, untuk memasak ie bu peudah juga menggunakan 44 macam dedaunan yang dimasukkan bersama beras dan kelapa. Dedaunan yang dipercaya dapat menambah kenikmatan masakan itu mereka dapatkan dari pegunungan dan perkebunan warga.
Biasanya, sepuluh hari menjelang Ramadan dedaunan ini sudah disiapkan. Bahan ini kemudian digiling oleh para perempuan secara gotong royong. Warga meyakini dedaunan yang pakai mengantung sejuta khasiat. Salah satu khasiatnya diyakini bisa menyembuhkan gatal-gatal di kulit.
Selain itu, anak-anak yang rutin makan ie bu peudah ini selama sebulan, berat badannya juga akan naik "Jadi kita bagi tugas. Yang giling bumbu ibu-ibu yang masak anak muda atau bapak-bapak. Campuran bumbu ini diracik oleh seorang warga yang mengerti tentang ie bu peudah. Jadi yang bertugas jadi koki tinggal masak aja," jelas Hafidh.
Rasa ie bu peudah ini hampir sama dengan kanji-kanji lain. Namun yang membedakan hanya pada pedasnya. Hal itu disebabkan karena rempah-rempah dari dedaunan itu dicampur lada, kunyit dan jahe sesaat sebelum dimasak. "Orang yang minum ini jadi segar," ungkap Hafidh.
Menurutnya, memasak ie bu peudah sudah dilakukan warga di kampung yang dipimpinnya sejak zaman dulu. Sajian warisan sultan Aceh ini khusus di masak selama bulan Ramadan.
![]() |
"Orang tua kita dulu memasak ini agar anak-anak tidak mengganggu ibu mereka yang sedang memasak. Dengan ada masak ini, anak-anak bermain di meunasah. Memasak ie bu peudah sudah dilakukan turun temurun," jelasnya.
Untuk biaya yang digunakan untuk memasak sajian ini diperoleh dari hasil menjual beras yang dipanen dari sawah wakaf. Meski demikian, kadang ada juga warga yang menyumbang secara sukarela.
Ie bu peudah yang dimasak secara gotong royong ini kemudian dibagi kepada seluruh masyarakat di sana. Usai salat Asar, warga berdatangan dengan membawa wadah. Koki yang bertugas memasak selanjutnya menuangkan ke dalam wadah yang dibawa warga.
"Setiap hari kita masak ukuran 270 kepala keluarga. Sesuai data desa. Biasa setelah Asar sudah bisa ambil," kata Hafidh. (odi/odi)