Namun kini banyak penjual tarantula yang mengeluh soal ketersediaan serangga ini. Pasalnya hutan tempat tarantula hidup kini banyak diubah menjadi kebun kacang mete. Hal ini menyebabkan berkurangnya populasi tarantula di Kamboja. Padahal sebelumnya, serangga ini jumlahnya melimpah di sana.
Kebiasaan makan tarantula goreng berawal saat rezim Mao beranama Khmer Rouge berkuasa di tahun 1970-an. Mereka menjadikan warga Kamboja budak. Hingga jutaan warga keluar dari kota lalu mengungsi ke dalam hutan. Di sana mereka mengalami kelaparan. Kelaparan inilah yang membuat mereka memakan apapun yang bisa dimakan di hutan. Saat itu, tarantula jadi pilihan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Pada tahun 1979, rezim Khmer Rouge akhirnya tumbang. Namun kebiasaan makan tarantula tetap ada hingga kini. Kini warga Kamboja menggoreng tarantula yang sudah diberi garam dan bawang putih. Warga Kamboja menamai sajian ini Aping. Konon rasanya mirip dengan kepiting. Selain mudah didapat, konsumsi tarantula goreng dinilai baik untuk kesehatan.
Beberapa waktu lalu, sempat ada tren mengungah foto makan aping di media sosial. Banyak warga atau pelancong yang mengunggah foto mereka menyantap serangga bertubuh gendut itu.
![]() |
"Aping sangat terkenal di Kamboja tapi kini jumlah mereka tidak lagi banyak, mereka kini langka,"tutur Chea Voeun pada SCMP (6/4).
Kini ia dan penjual lainnya hanya bergantung pada penadah tarantula dibandingkan mencari sendiri. Karenanya terjadi kenaikan harga tarantula. Saat ini satu ekor tarantula dijual seharga $1 (Rp 13.500). Angka tersebut sepuluh kali lipat lebih besar dibanding biasanya.
Penjual lain bernama Lou Srey Sros bahkan berujar, "Saat tidak ada lagi hutan, laba-laba ini tidak akan ada lagi (punah)."
Hal ini sangat disayangkan. Bahkan badan konservasi alam dunia, Fauna Flora International (FFI) menyebut kalau wilayah Asia Tenggara kehilangan 20% hutan sejak tahun 1990.
(dwa/odi)