Pusaka Kuliner, Warisan Budaya yang Harus Dilestarikan oleh Generasi Muda

Kuliner Tradisional Lezat

Pusaka Kuliner, Warisan Budaya yang Harus Dilestarikan oleh Generasi Muda

Tania Natalin Simanjuntak - detikFood
Jumat, 14 Agu 2015 13:23 WIB
Foto: Detikfood
Jakarta -

Lebih dari 13.000 pulau yang dimiliki Indonesia menggambarkan kekayaan budaya dan hasil alam. Warisan tak bernilai ini harus dilestarikan oleh generasi muda. Paling mudah dengan terus mengonsumsi makanan tradisional dan melestarikan cara pembuatannya.

Apa sebenarnya yang disebut pusaka kuliner atau warisan kuliner? Menurut William Wongso, pakar kuliner, hidangan khas Nusantara yang sejak dulu dibuat bisa dibilang sebuah pusaka atau warisan nenek moyang.

Salah satu contohnya adalah tumpeng. “Tumpeng adalah wujud rasa syukur dan sudah eksis sejak zaman dulu. Bukan hanya untuk dinikmati kelezatannya, tapi pembuatan tumpeng juga termasuk dalam ritual,” tutur kakek 3 orang cucu ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karena masuk dalam ritual, hidangan tumpeng sarat akan filosofi yang dalam. Karenanya, tumpeng tak boleh sembarangan dibuat apalagi jika budaya tumpeng ditiadakan.

“Jika dulu perayaan panen atau pengucapan syukur kita memotong tumpeng, sekarang budaya ini masih ada, dan jangan sampai ditinggalkan.” kata William Wongso pada detikFood dalam perbincangan lewat telepon Kamis (13/08)

Selain soal tumpeng, tak sedikit orang Indonesia yang tidak tahu makanan khas daerahnya sendiri. “Sayangnya, banyak orang Indonesia yang tidak berminat, bahkan tidak tahu makanan khas daerahnya sendiri. Hal ini memang dapat dimaklumi karena makanan Indonesia sangat banyak nama, ragam, rasa, dan bentuknya.” sambungnya.

Contohnya saja, seperti makanan khas Betawi. Orang Indonesia hanya tahu Soto Betawi, Nasi Ulam, Nasi Uduk, atau Lontong Sayur. Tapi, makanan seperti Sayur Besan atau Sayur Babanci tak banyak diketahui, bahkan tak ada yang tahu. Menurut William Wongso, pemerintah juga dinilai hanya berpangku tangan dalam hal ini. “Saya belum melihat usaha serius pemerintah dalam melestarikan kuliner khas Indonesia,” jelasnya.

Berbeda dengan Wiliam Wongso, sejarahwan JJ Rizal menyatakan ia sudah melihat langkah pemerintah dalam melestarikan kuliner Indonesia. Namun, langkah tersebut dinilai salah.

“Kampung Betawi di Setu Babakan itu sudah menjadi langkah awal yang bagus untuk melestarikan kuliner dan adat Betawi. Namun, caranya salah. Ketika saya berkunjung ke sana, saya bingung kampung Betawi ini Betawi yang di sebelah mana? Ketika datang kesana, kita disambut oleh dua pilar besar berbentuk gerbang. Jelas ini bukan khas Betawi. Orang Betawi menurutnya tidak mengenal gerbang, apalagi gerbang Si Pitung. Selain itu, makanan khas Betawi di Setu Babakan juga kurang diangkat sedemikian rupa,” tuturnya

Agar lebih menarik dan tidak terlupakan, seharusnya makanan ditambahi cerita atau sejarah mengapa makanan itu bisa terbentuk. Apakah karena ritual, ketidaksengajaan, atau karena pengaruh penjajah. Itu sebabnya, masalah kebudayaan ini seharusnya ditanamkan sedari dini untuk warga Indonesia yang masih muda.

William Wongso juga menyatakan pemahaman warisan kuliner yang menjadi pusaka Indonesia harus dimulai dari tahapan paling mendasar.

“Sudah seharusnya generasi muda mempelajari dan menekuni kekayaan kuliner Indonesia. Anak-anak hingga pemuda dan pemudi harus peduli dengan apa yang ada di sekitar, termasuk kuliner khas bangsa sendiri,” tutur pakar kuliner yang aktif mempromosikan hidangan Indonesia di mancanegara ini.

Walau usahanya belum terlalu kelihatan, tapi kita bisa melihat banyak juga makanan tradisional yang diberi sentuhan modern. Seperti kue cubit dengan rasa green tea. hal ini bisa jadi inovasi untuk melestarikan budaya khas Indonesia. Cara ini dimaklumi oleh William Wongso.

“Menurut saya hal itu sah-sah saja. Tidak ada yang salah dengan itu,” tutupnya.

(tan/odi)

Hide Ads