Penelitian ini dibawa oleh Preston Wilson selaku Associate Professor dari University of Texas, Austin. Lewat teknik mengenali retakan pertama dan kedua yang terjadi karena proses pelepasan oksigen pada biji kopi saat suhu memanas.
Suara retakan pertama terjadi pada suhu 200 derajat celcius dan terdengar seperti popcorn meletup, sementara retakan kedua terdengar seperti nasi yang direbus dalam susu pada suhu 230 derajat celcius.
Menghentikan proses pemangangan pada waktu yang tepat bisa menentukan seberapa kental kopi sehingga cocok untuk profil rasa favorit.
“Contohnya, jika ingin kopi light roast didapatkan saat retakan pertama, medium roast akhir retakan pertama, espresso ada di awal retakan kedua, dan dark roast ada saat mendekati akhir retakan kedua,” tutur Preston kepada ABC Australia (02/06/2014).
Preston merekam dan menganalisa bunyi retakan espresso blend biji kopi Arabica dan Robusta. Ia menemukan tiga karakteristik akustik yang bisa digunakan untuk membentuk automatic roast monitoring technique.
Suara retakan pertama lebih keras 15 persen dari yang kedua secara frekuensi, retakan kedua terjadi lebih cepat lima menit dibanding retakan pertama.
Studi ini diterbitkan di Journal of the Acoustical Society of America. Bagaimana pun ia menyatakan ukuran ini bergantung pada mesin roasting yang digunakan dan penelitian lebih lanjut harus mengeksplorasi karakteristik akustik biji kopi, proses roasting, dan mesin berbeda.
“Mengoptimalkan waktu tidak hanya berpengaruh pada secangkir kopi yang lebih nikmat, tapi juga menghemat uang karena mencegah over roasting biji kopi. Bisnis kopi adalah bisnis global skala besar, meningkatkan hal kecil dalam segi kualitas dan ekonomi bisa berdampak besar,” tambah Preston.
(dni/odi)