Hubungan antara makanan dan cinta terkait dengan perilaku sosial dan psikologis yang tertanam jauh dalam diri kita. Reaksi hormon komplekslah yang memengaruhi keterikatan emosional kita dengan orang tercinta, juga kebutuhan kita akan makanan.
Maryanne Fisher, profesor psikologi di St. Mary's University, meneliti basis evolusioner dari perilaku romantis. Menurutnya, terutama di awal hubungan, makan memiliki makna penting.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Membelikan makanan enak dan memasak untuk pasangan lebih disukai, karena orang yang baru jatuh cinta cenderung tak banyak makan. Mereka memiliki kelebihan hormon reward seperti norepinephrine. Akibatnya, mereka merasakan kebahagiaan luar biasa dan energi. Namun, nafsu makan mereka jadi lebih tertekan.
Bagaimanapun juga, dalam kasus ekstrem, pernikahan bisa menyebabkan obesitas. Studi yang dilakukan University of North Carolina pada 2008 menunjukkan bahwa wanita yang sudah menikah dua kali lebih berisiko obesitas dibanding wanita yang belum menikah.
Wanita yang kumpul kebo 63% lebih mungkin menjadi obesitas dibanding wanita lajang. Pria menikah juga dua kali lebih berisiko mengalami obesitas. Namun, pria yang kumpul kebo tidak lebih berisiko dibanding mereka yang belum menikah.
Naiknya berat badan bisa disebabkan oleh lingkungan sosial. Jika seseorang memiliki kebiasaan makan yang buruk, seperti porsi yang berlebihan atau gemar menyantap makanan tak sehat, hal ini bisa menular pada pasangannya.
Menurut ahli gizi Joy Bauer, pernikahan juga membuat Anda jadi kurang termotivasi untuk menghindari ngemil. "Jika Anda telah berumah tangga, Anda tak lagi menghadapi persaingan di ranah kencan. Artinya, Anda jadi kurang terdorong untuk menjaga bentuk tubuh dan tampil menarik," ujarnya.
Apalagi, tambah Bauer, gaya hidup Anda menjadi lebih berpusat pada makanan. "Sebagai pasangan, Anda mungkin lebih suka tinggal di rumah dan bermesraan di sofa sambil ngemil, dibanding ketika Anda masih lajang," kata Bauer.
(flo/odi)