Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI, Drs. H. Sholahudin Al-Aiyub, M.Si., mengatakan bahwa mengacu pada Peraturan Pemerintah, semua produk daging yang masuk ke Indonesia harus disertai dengan Sertifikat Halal (SH) dari negara asalnya. SH itu pun harus dikeluarkan lembaga Islam yang telah diakui oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ketentuan itu telah disebut secara eksplisit dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Republik Indonesia Nomor 139/Permentan/Pd.410/12/2014 Tentang Pemasukan Karkas, Daging, Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 1, ayat 1, dinyatakan dengan tegas bahwa Karkas Ternak Ruminansia adalah bagian dari tubuh ternak ruminansia sehat yang telah disembelih secara halal dan benar. Sedangkan ayat 2: Karkas Unggas adalah bagian dari tubuh unggas yang telah disembelih secara halal dan benar.
Selanjutnya disebutkan pada Pasal 2, Permentan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan pemasukan/impor daging ke Indonesia, dengan tujuan untuk: (a) melindungi kesehatan dan ketenteraman batin masyarakat, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan; dan (b) memastikan terpenuhi persyaratan aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan. Kalau tidak diakui oleh MUI, maka tidak diijinkan untuk masuk ke Indonesia.
Pada Pasal 13, ayat (1), huruf d ditegaskan, bahwa produsen di negara asal daging tersebut harus memiliki dan hanya menerapkan sistem jaminan kehalalan untuk seluruh proses produksi (fully dedicated for halal practices) serta mempunyai pegawai tetap yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan penyembelihan, pemotongan, penanganan, dan pemrosesan secara halal; dan huruf (e) mempunyai juru sembelih halal bagi rumah potong hewan selain rumah potong hewan babi dan disupervisi oleh lembaga sertifikasi halal yang diakui oleh otoritas halal Indonesia.
Akan tetapi ketentuan itu ditafsirkan sekaligus diimplementasikan secara harfiyah hanya berlaku untuk impor daging, tambah Sholahudin Al-Aiyub.
“Sedangkan yang selain itu, seperti kulit hewan, maka itu tidak ada peraturannya secara khusus. Karena ketika dimasukkan dari luar negeri ke Indonesia, produk atau bahan kulit itu diperuntukkan dengan kategori untuk barang gunaan, bukan untuk makanan. Seperti bahan untuk membuat atau produksi sepatu, jaket, tas, dll,” tuturnya, seperti dilansir dari halalmui.org(10/09).
Ia menyebut dalam konteks ini timbul masalah bahwa ternyata tidak semua produk kulit itu memang benar-benar dipergunakan untuk barang gunaan seperti yang telah disebutkan. Sebab ada indikasi kalau produk kulit juga dipakai dalam produksi kerecek, kerupuk kulit, atau produk konsumsi lainnya. Indikasi tersebut juga sudah disiarkan oleh sebuah stasiun televisi swasta yang melakukan investigasi liputan dan reportase akan hal ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sholahudin Al-Aiyub pun mengimbau masyarakat mewaspadai dan berhati-hati terhadap produk kerupuk dari kulit ini.
“Dan kepada Pemerintah kami juga mengimbau dan mengharapkan agar membuat peraturan yang dapat melindungi kepentingan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk di negeri kita ini,” himbaunya sambil menyampaikan harapan.
Ia menjelaskan pula bahwa hal itu merupakan bagian dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinan umat Muslim, yang mana telah dijamin dalam Konstitusi.
SUMBER: LPPOM MUI
(msa/odi)