Seiring masuknya bulan Ramadan, Brunei kembali memberlakukan larangan "makan siang" di restoran setempat. Semua restoran, baik halal maupun non-halal, tidak diizinkan melayani konsumen yang makan di restoran mulai dari fajar hingga senja.
Tiap restoran di Brunei tidak menyajikan makan siang untuk dine-in, terlepas dari agama pemilik maupun pelanggannya. Aturan juga berlaku di setiap tempat umum yang menyediakan makanan dan minuman, kecuali fasilitas medis.
Bagi non-Muslim, makanan dan minuman bisa dibawa pulang dari tempat tersebut. Kemudian dinikmati di tempat lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahun lalu sempat ada protes terkait pelarangan tersebut. Pada pertengahan 2014, The Brunei Times melaporkan 17 pemilik restoran non-Muslim telah menulis surat pada Kementrian Agama. Mereka meminta penarikan izin agar bisa melayani pelanggan non-Muslim selama waktu puasa.
Meski begitu, undang-undang masih berlaku tahun ini. Beberapa warga non-Muslim di Brunei pun tampak menerimanya.
"Mayoritas di Brunei menerima filosofi Monarki Islam Melayu, ini adalah sebuah negara Muslim. Kami harus mengikuti aturan dan hukumnya," ucap Teh, seorang pensiunan, seperti dilansir dari Channel News Asia (18/05).
"Saya hanya bisa mengatakan bahwa bisnis sangat lemah. Anda harus ingat, di Brunei, tidak begitu banyak orang. Ini berbeda dengan Singapura atau Malaysia. Sehingga tidak ada gunanya bisnis tetap buka," tambah Jessica, mantan pemilik bisnis.
Menurut Professor James Chin, Direktur Asia Institute Tasmania, kelompok minoritas sudah terbiasa dengan gaya hidup di Brunei.
"Populasi minoritas di Brunei menerima fakta bahwa Brunei merupakan negara Melayu-Islam yang diperintah monarki mutlak dan mereka hanya perlu mengikuti aturan jika ingin tinggal di sini," terang James Chin.
Bagi sebagian minoritas, aturan dapat diterima sebagai 'barter' untuk kehidupan yang aman dan nyaman di Brunei. Dimana kesejahteraan masyarakat terjamin, mulai dari penyediaan kesehatan gratis hingga pendidikan.
(msa/odi)