Dr. KH. Maulana Hasanuddin, MA (Wakil Ketua) dan Drs. H. Sholahudin al-Aiyubi, MSi (Wakil Sekretaris) Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menjawab lewat Jurnal Halal No. 105 edisi Januari-Februari 2014. Mereka mengatakan bahwa Alquran tak menyebutkan larangan memakan daging kelelawar secara jelas.
Namun, Imam Syihabuddin asy-Syafi'i dalam kitab 'at-Tibyan li Maa Yuhallal wa Yuharram min al-Hayawan' serta Imam Nawawi dalam 'Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab' mengatakan bahwa menurut mazhab Syafi'i, kelelawar haram dikonsumsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada perbedaan pendapat terkait hukum berobat dengan benda yang najis dan haram seperti kelelawar. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah salah satu ulama yang mengharamkan.
Ia mengutip hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan Allah atasmu." (HR Bukhari dan Baihaqi).
Adapula hadis yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram." (HR Abu Dawud).
Bagaimanapun juga, sebagian ulama seperti Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa konsumsi bahan haram untuk obat diperbolehkan jika dalam kondisi darurat. Artinya, tidak ada lagi obat halal yang ampuh.
Kalau tidak menggunakan bahan haram, penyakitnya akan semakin parah, tak bisa sembuh, atau berakibat kematian. Namun, kalau masih ada alternatif (halal), tidak ada keringanan maupun toleransi.
Bagaimanapun juga, Komisi Fatwa MUI Pusat mengingatkan agar kita selalu mengonsumsi obat yang telah jelas kehalalannya. "Jangan menyerempet bahaya atau yang diragukan status halalnya. Pasalnya, mengonsumsi sesuatu yang halal adalah perintah agama yang wajib diikuti," tulis lembaga ini.
(fit/odi)