Akibat pembebasan visa Juli lalu, jumlah wisatawan muslim asal Malaysia ke Jepang meningkat. Belum lagi semakin maraknya konferensi internasional di Kyoto yang dihadiri muslim-muslim dari Afrika, Timur Tengah, serta Asia Selatan dan Tenggara. Hal ini mendorong pihak berwenang di Kyoto mencari cara untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Dari 845.000 wisatawan asing yang menginap minimal semalam di hotel di Kyoto pada tahun 2012, hanya 13.000 yang berasal dari Malaysia dan Indonesia. Namun, jumlah ini meningkat jauh dari 8.000 turis yang berkunjung pada 2011. Angka inipun diperkirakan akan terus meningkat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penasihat grup ini adalah Asosiasi Muslim Kyoto, lembaga yang mengusahakan agar muslim dapat mengunjungi masjid dan beribadah di dalamnya. Asosiasi tersebut juga memberikan informasi terkait restoran halal dan ramah muslim di Kyoto.
Beberapa hotel seperti Hotel Granvia dan Kyoto Century Hotel sudah menawarkan hidangan ramah muslim. Sementara itu, Kyoto Rose Cafe yang berlokasi tak jauh dari kantor asosiasi tadi, sudah menyajikan makanan halal. Adapula website berbahasa Jepang dan Inggris yang memuat daftar tempat-tempat halal dan ramah muslim di Kyoto.
Namun, kelompok studi tersebut memiliki gagasan untuk memberikan panduan restoran yang lebih terperinci dengan klasifikasi 'halal', 'ramah muslim', 'muslim-welcome', dan 'bebas babi'.
Restoran boleh disebut 'halal' jika seluruh menunya bersertifikat halal serta tak menggunakan babi, produk babi, maupun alkohol, termasuk wine masak atau mirin (wine beras). 'Ramah muslim' berarti restoran tersebut memiliki menu halal dan nonhalal.
Jika proses memasaknya tak melibatkan babi maupun alkohol namun daging tak halal dan alkohol tersedia, maka restoran tersebut disebut 'muslim-welcome'. Sementara itu, alkohol masih digunakan jika restoran berlabel 'bebas babi' saja.
Selain menyediakan ruangan salat yang menghadap kiblat dan memastikan makanan yang disajikan memenuhi persyaratan, ada isu lain yang perlu diperhatikan.
Menurut Rie Doi, direktur promosi wisata di Biro Konvensi Kyoto, penting bagi bisnis-bisnis di Kyoto yang ingin menjual barang maupun jasanya ke turis muslim untuk memahami latar belakang budaya pelanggan mereka.
"Misalnya, beberapa perusahaan ingin menjual jenis suvenir tertentu dengan warna yang populer di dunia muslim. Warna tersebut berbeda dengan yang disukai pelanggan asing lain," ujar Doi.
Selain itu, seperti para wisatawan lainnya, para turis muslim juga sering mempertanyakan kepada agen travel mengapa mereka harus mengunjungi candi atau kuil Kyoto tertentu. Mereka juga menanyakan apa yang bisa mereka lakukan saat berada di sana.
(fit/odi)