Dodongkal, Pekoe, Ngaburung & Beureum Seungit

Toer de Cianjur(1)

Dodongkal, Pekoe, Ngaburung & Beureum Seungit

- detikFood
Selasa, 06 Nov 2007 10:11 WIB
Jakarta - Pagi cerah dan udara hangat. Keceriaan mengiringi perjalanan kami ke Cianjur. Menelusuri kebun teh, mencicipi teh Walini yang harum plus dodongkal yang pulen wangi. Semangat dan antusiaspun berlanjut saat berebut nasi berureum seungit yang hangat mengepul. Semuanya licin tandas berikut ayam honje dan semur jengki. Raos pisan euy!Rupanya hari indah sedang berpihak pada kami. Karena Sabtu pagi, kami disambut cuaca cerah dan semua peserta tur Cianjur datang tepat waktu. Maka dengan suasana riang dan ramai bus pun bisa meluncur meninggalkan Jakarta pukul 06.30 tepat. Suasana buspun segera jadi hangat karena masing-masing peserta saling berkenalan dan obrolan serupun mewarnai perjalanan kami. Memasuki Ciawi kamipun makin senang karena matahari bersinar dengan lembut di balik awan. Memang benar, seperti kami duga, udara hangat, cuaca cerah pun menyambut kami di Perkebunan PTP Nusantara VIII Gedeh.Pak Irwan dan beberapa staf PTP Nusantara VIII, menyambut rombongan kami di aula. Kamipun di sambut dengan teh hitam Walini yang mengepul hangat. Dodongkal yang dibungkus daun pisangpun menjadi teman minum teh ini. "Enak ya pulen, lembut dan manis," demikian komentar para peserta sambil sibuk mencocolkan potongan kue dengan kelapa parut. Dodongkal merupakan kue tradisional khas Cianjur yang terbuat dari tepung beras dengan isi serutan gula merah. Ada yang dicetak dalam baskom besar kemudian dipotong-potong atau dicetak dalam mangkuk kecil. Rasanya mirip kue putu. Dua puluh menit kemudian peserta berbaris rapi dengan panduan pak Irwan menyusuri kebun teh. (sstt..ada beberapa peserta yang membawa bekal dodongkal dan segelas teh hangat. Jadilah sambil jalan sekali-sekali menghirup teh. Beberapa bagian kebun sedang mengalami pemangkasan sehingga tampak gundul tanpa daun. "Pemangkasan ini bertujuan agar pohon teh menjadi aktif berproduksi, tumbuh daun dan pucuk baru yang berkualitas," demikian penjelasan pak Irwan dari corong megaphone-nya. Sinar matahari terasa sangat hangat diiringi embusan angin yang sejuk. Jalan yang sedikit berliku dan menanjak kecil ternyata hampir tak menimbulkan hambatan juga untuk 2 orang ibu lanjut usia yang menjadi peserta. "Daun the yang dipetik adalah 3 helai daun pucuk atau daun muda seperti ini. Jika ada kuncupnya maka disebut 'pekoe'. Tetapi jika tak ada hanya helai daun saja maka disebut ngaburung atau seperti burung," penjelasan pak Irwan soal pucuk teh ini disambut dengan tawa berderai para peserta. "Wah pak ternyata teh ada daun muda dan burungnya juga ya...," komentar seorang peserta. Keringat berlelehan di wajah para peserta dan kulitpun mulai kemerahan segar akibat terpaan sinar matahari. Tur dilanjutkan menuju ke bagian dalam pabrik yang dibangun pada tahun 1927. Bagunan tua yang berlantai kayu jati ini memang tampak gelap dan lembap. Proses dimulai dari tempat penimbangan daun teh segar yang baru dipetik, proses pelayuan hingga proses pemotongan. "Di mesin ini daun teh dipotong halus dan disortir sehingga ukurannya sama," jelas pak Irwan. Aroma harum daun teh yang memenuhi pabrik terasa sangat segar dan melegakan dada. Tiap detil proses selalu diiringi dengan pengecekan mutu. Misalnya jenis pucuk daun, rasa dan aroma teh pada tiap tahapan pengeringan. Usai melihat proses pengeringan, tur berakhir di depan pabrik. Para pesertapun memakai kesempatan untuk berbelanja teh hitam Walini, teh hijau dan teh jahe.Menyusuri jalan berliku desa Cugenang kamipun tiba di pertanian organik Gasol. Ibu Ika bersama ibunda, suami dan putranya menyambut kami dengan ramah. "Ayo, minum kelapa muda dingin dulu ..," Bu Ika mempersilakan peserta melepas dahaga dengan segelas air kelapa muda yang dicampur dengan air jeruk segar. Sebelum makan siang, bu Ika pun bercerita sedikit soal pertanian organic yang dirintisnya. "Di sini baru ditanam beras peuteuy, hawara batu, omyok dan pandan wangi karena baru jenis itu yang ada bibitnya," jelas bu Ika. Hampir semua peserta belum pernah mendengar nama beras varietas Cianjur asli. Soal teknik Fukuoka dan beras Cianjur 'aspal' pun dibeberkan sekilas oleh bu Ika. "Supaya nanti lebih semangat waktu ke sawah dan bertanya sebaiknya kita makan dulu," usul bu Ika langsung ditanggapi bersamaan oleh semua peserta. "Untuk makan siang saya buat nasi merah liwet campuran peutey, hawara batu dan beureum seungit," jelas bu Ika sambil membawa kendil nasi liwet.Duduk berjajar berhadapan dalam dua baris, gaya makan bersama dengan alas selembar daun pisangpun berlangsung seru. Nasi liwet beras peuteuy, dan beureum seungitpun diedarkan. Tumis teri nasi, ayam goreng honje, pepes jamur, pepes ikan, tahu goreng, tumis kangkungpun beredar cepat. Kejutan spesial diberikan bu Ika. "Hari ini saya punya lauk spesial jengki alias jengkol," teriak bu Ika sambil mengedarkan 4 mangkuk berisi jengkol yang dimasak dengan bumbu santan yang gurih. "Asyiiik..," teriak peserta berbarengan. Suasana makan siangpun berlangsung seru. Makan dengan tangan beralas daun pisang memang sangat nikmat apalagi diiringi teriakan peserta minta lauk. "Sambal dong... tumis kangkungnya dioper dong...nasi merah...nasi merah..." Wah, seru banget seperti layaknya makan bersama di rumah adat. Dalam hitungan menit, beras merah pun lebih cepat tandas. Disusul kerupuk kampung, ayam goreng, pepes jamur tiram, pepes ikan dan sambal cobek yang pedas! Rupanya banyak peserta yang baru pertama kali makan beras merah. "Aduh ini kok pulen, kayak ketan ya," komentar seorang peserta sambil menyuapkan nasi merah terakhirnya ke dalam mulut. Usai makan pesertapun bersiap-siap untuk acara tur ke sawah. Sambil membantu beberes, ada beberapa peserta yang sibuk juga membungkus sisa tumis teri, kerupuk kampung dan sambal! "Aduh, ini enak banget , sayang kalau didiemin...," demikian alasan mereka. Acara turun ke sawah, ke pabrik tauco, ke pabrik moci, belanja oleh-oleh dan mampir ke Cimory juga berlangsung seru. Tunggu ya cerita berikutnya! (dev/Odi)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads