Keumamah juga dikenal dengan nama gulee keumamah, atau juga populer disebut eungkot kayee. Pada dasarnya, keumamah adalah daging ikan tongkol yang direbus, kemudian dikeringkan dengan cara disalai (diasap). Karena ikan kering menjadi keras seperti kayu, maka disebut juga sebagai ikan kayu (ikan kayee). Orang Jepang juga mengenal ikan kering seperti ini, disebut katsuobushi - biasanya diserut halus sebagai penyedap rasa berbagai kuah.
Saya mengenal gulee keumamah ini pertama kali ketika bertugas sebagai sukarelawan di Meulaboh dan Banda Aceh pasca-tsunami yang lalu. Ketika itu, hampir tidak ada rumah makan yang buka, karena kebanyakan disapu ombak. Ibu dari salah seorang sukarelawan kemudian memasakkan gulee keumamah dari bahan-bahan yang berhasil dikumpulkan dari para tetangga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rasa machtig dari minyak kelapa diimbangi dengan rasa asam yang diciptakan oleh asam sunti (blimbing wuluh dikeringkan). Daun salam koja (juga disebut daun kapri pulai atau temurui). Sesuai kesukaan masing-masing, keumamah dari rumah satu ke rumah lain dapat tampil pedas hingga sangat-sangat pedas sekali. Maklum, untuk membuat keumamah dipakai tiga jenis cabe yaitu cabe rawit, cabe merah dan cabe hijau. Bukan masakan Aceh bila tidak pedas.
Untuk membuatnya lebih "kaya", gulee keumamah juga sering diisi dengan kentang, kacang panjang, atau sayur-mayur lain, seperti: jantung pisang, atau terong telunjuk.
Orang-orang Aceh yang hidup di perantauan sering merindukan masakan rumahan istimewa ini. Tetapi, karena ikan kayu tidak mudah diperoleh di luar Aceh, mereka mengobati rindu dengan menggunakan ikan tongkol segar, atau bahkan dengan ikan tuna dalam kaleng.
Di rumah-rumah makan Aceh β baik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam β maupun yang banyak dijumpai di Medan dan Jakarta, gulee keumamah cukup mudah dijumpai. Kuliner pusaka ini tampaknya masih akan mampu bertahan melawan arus modernisasi boga.
(dev/Odi)