Untungnya, di beberapa daerah, masakan kepiting (termasuk rajungan) tradisional masih bertahan dengan baik. Misalnya, kepiting woku belanga di Sulawesi Utara dan mangut atau becek rajungan di sekitar Tuban, Jawa Timur,
Di Sumatra Utara – khususnya Medan – masih sesekali dapat kita temukan masakan khas Melayu-Deli yang disebut gulai ketam ini. Bahannya dapat dibuat dari kepiting maupun rajungan, dimasak dalam santan kental dengan bumbu-bumbu yang sangat bernuansa Melayu. Artinya, gulai ketam ini sama sekali tidak mengedepankan citarasa India seperti biasanya masakan gulai. Pedasnya lebih menonjol, tetapi bumbu-bumbu lainnya memberikan latar belakang komplet yang cukup lembut. Nuansa asamnya – yang dicapai dengan penggunaan dua jenis asam, yaitu asam gelugur dan kencong (kincung = kecombrang = honje) – membuat gulai ini juga memenuhi syarat untuk disebut sayur asam pedas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena daging kepiting agak peka terhadap suhu, sebaiknya masakan ini disajikan langsung setelah selesai dimasak. Bila terlalu lama disimpan, dan kemudian dipanaskan lagi, tekstur daging kepitingnya akan menjadi agak keras dan hilang manisnya.
Untuk resep masakan ini, ketam dapat diganti dengan udang atau ikan. Bila diganti dengan daging sapi atau ayam, nuansa asamnya menjadi salah tempat dan kehilangan konteks. Perpaduan daun limau, daun kunyit, dan kencong menciptakan aroma harum yang sangat khas pada masakan ini.
Seandainya tanpa santan, gulai ketam masakan khas Melayu-Deli ini sangat mirip dengan masakan woku belanga dari Sulawesi Utara. Woku belanga lebih aromatik karena memakai tambahan sereh dan daun kemangi.
Seperti masakan-masakan Melayu-Deli pada umumnya, gulai ketam pun semakin langka dan hanya muncul pada jamuan-jamuan yang berkaitan dengan upacara adat. Padahal, gulai selezat ini mestinya perlu dan dapat dihadirkan sebagai sajian sehari-hari.
(dev/gst)