Nyate.... Asooii!

Nyate.... Asooii!

- detikFood
Kamis, 25 Agu 2011 17:35 WIB
Jakarta - Kebetulan lima bulan yang lampau, aku berkunjung ke Jakarta. Tak ada apa-apa, sekedar kangen kepingin menengok kota Jakarta, famili, eks-relasi, dan teman-teman. Kunjunganku sebelumnya sekitar delapan tahun yang lalu. Aku sengaja membuat kunjunganku kali ini spesial. Aku berpuas diri untuk bernostalgia dengan mereka. Itulah sebabnya, kegiatanku setiap hari, ya, jalan-jalan dan makan-makan, kesana kemari bersama si ini si itu.

Kami mengunjungi restoran-restoran, baik yang tempo dulu maupun terkini. Wah, rumah makan di Jakarta ternyata sangat banyak sampai kami bingung memilihnya. Selama di ibukota, urusan makan dan transportasi benar-benar gratis. Mereka yang mentraktir sepenuhnya. Untung juga, ya, memiliki famili, eks-relasi, dan kawan-kawan yang sudah mapan di Indonesia. Segalanya serba gratis, hanya membayar hotel. Bisa jadi hotel pun gratis kalau aku memberi kabar sebelum kedatanganku. Tapi, aku baru memberitahu mereka setelah hotel telah di-booking terlebih dahulu.

Aku berjumpa dengan tiga kawan sepermainan semasa "menggembel". Syukurlah, kini, kehidupan ekonomi mereka berkecukupan meskipun tidak gemerlap. Sebagai sesama mantan “anak jalanan”, tentu acara mudik diisi dengan napak tilas. Kami menelusuri warung-warung girli (pinggir kali), teja (tepi jalan), dan amigos (agak minggir got sedikit). Seperti kerbau, setelah mandi dan memakai pakaian bagus serta diberi makanan bergengsi, tetap saja masuk ke kubangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagusnya, daya tahan tubuhku masih oke. Aku tidak murus-murus seperti banyak teman yang sudah lama tinggal di negara Barat, pulang kampung terserang muntaber. Tetapi aku juga hati-hati, lho. Aku selalu makan hidangan yang panas, baru dimasak, dan tidak minum sembarangan. Aku lebih memilih minuman kaleng yang didinginkan (menghindari es batu) atau bawa mineral water merek terkenal yang beli dari supermarket kesana-kemari.

Salah satu tempat makan yang aku kunjungi, warung sate "amigos" di pinggiran Sarinah Departement Store. Seperti cerita Winneke, kepulan asap bakaran sate kambing di sini begitu menggida orang yang lewat di jalanan sekitar warung. Memang betul, makan sate kambing paling asoi di warung spesial sate. Bukan di restoran ber-AC, sekalipun namanya Satay House.

Aku mencoba sate kambing di seantero Australia, tetapi tidak ada satu pun yang enak. Entah karena mereka tidak bisa mengolahnya atau jenis kambingnya yang berbeda (Aku, kok, bingung membedakan lamb, goat, dan sheep).

Nyate di amigos memang asoi. Suasananya non formal. Pelayanannya cepat. Potongan daging kambingnya yang pas dan mengandung sedikit lemak diracik dan dibakar di depan mata. Sate yang dibakar setengah matang kemudian dicocolkan ke dalam saus. Begitu dikunyah, langsung lumer. Top markotop, meminjam istilah Bondan. Entah bahasa apa ini. Kami tidak bisa duduk berlama-lama karena pengunjung terus berdatangan dan banyak kepulan asap.

Sate kambing Amigos ini konon harus berasal dari kambing muda, tetapi bukan anaka. Dagingnya enak, tetapi tidak langsung ambrol. Bau asapnya pun wangi semerbak tetapi tidak prengus seperti daging kambing tua. Di antara daging, ada sedikit lemak tetapi bukan yang berpotongan twiggy.

Kalau empuknya daging karena rekayasa, diberi daun pepaya atau meat tenderizer, ah, peduli amat. Saus dan "aksesori" sate yang norak, biarkan saja. Cocol saja.

Konon, makan sate kambing lebih enak jika dinikmati di tempat. Bukan take away (dibawa pulang ke rumah), apalagi jika hasil hutang. Mau bikin sate sendiri di rumah? Membeli kambing hidup lalu di bawa pulang ke rumah? Jangan membuat huru-hara di rumah atau di kampung. Salah-salah, tetangga hingga kepala kampung minta jatah. Hehehe.....




(eka/Odi)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads