×
Ad

Kopi di Pangkuan Pantura, Arak di Istana Joseon

Sudrajat - detikFood
Kamis, 20 Nov 2025 12:30 WIB
Foto: Instagram/@filmpangku
Jakarta -

Di sudut-sudut deretan toko-toko tutup
Warung-warung gelap menyediakan kopi pangku, bir dan bau bedak...

Puisi bertajuk 'Malam di Kota Khatulistiwa' itu ditulis Wiji Thukul, 28 Desember 1996. Settingnya di sekitaran Sungai Kapuas dan dermaga Pelabuhan Pontianak, Kalimantan Barat. Namun sejatinya tradisi kopi pangku seperti direkam dalam puisi tersebut berpusat di Pantura dan sepanjang pesisir Jawa.

Eko Setiawan dalam Jurnal Habitus Universitas Sebelas Maret, Vol. 6 No. 2 Tahun 2022 menyebut wilayah Gresik, Jawa Timur sebagai salah satu tempat awal kemunculannya. Gresik dikenal sebagai kota penghasil legen, minuman manis dari nira yang bila difermentasi menjadi tuak. Minuman ini lazim disajikan di warung kopi. Dari situ, hadir daya tarik lain: pelayan perempuan yang membuat suasana lebih "hidup".

"Warung kopi pangku tidak hanya menyajikan rasa kopi yang nikmat, akan tetapi lebih menonjolkan keindahan pelayannya dengan pakaian yang minim. Senantiasa melayani penikmat kopi dengan manja dan juga sebagai ajang prostitusi terselubung," tulis Eko.

Tak heran bila di warung biasa secangkir kopi cuma dihargai Rp 3-4 ribu, harganya menjadi dua kali lipat di warung kopi pangku yang menyebar di Menganti, Kedamean, Cerme, dan Balongpanggang, Gresik. Jika si pembeli sampai memangku atau memeluk pelayan, tarif melompat ke Rp 25 ribu-Rp 50 ribu. "Tergantung lapo ae sing ngopi (tergantung ngapain saja si pembeli)," kata seorang pelayan kepada detikJatim, 04 Juni 2022.

Razia warung kopi pangku di Gresik yang sempat menyedot perhatian. Foto: Istimewa

Di jalur Pantura, warung kopi pangku bertahan di antara dentum knalpot truk, lampu-lampu kabur, dan para lelaki yang singgah seperti gelombang kecil di pantai. Kopi di sini adalah alasan untuk tetap membuka pintu; kehidupan sosialnya ada di balik uapnya yang tipis.

Fenomena yang sudah puluhan tahun hidup di lapangan itu kini kembali menjadi perbincangan setelah film "Pangku" karya Reza Rahadian tayang di bioskop sejak dua pekan lalu. Reza mencoba mengangkat sisi manusiawi dari balik meja-meja kopi pangku-tentang perempuan yang bekerja tak hanya untuk mencari nafkah, tetapi juga untuk mendapatkan ruang aman, solidaritas, bahkan tawa. Di Busan International Film Festival ke-30 pada 20 September 2025, Pangku meraih empat penghargaan.

Kenapa demikian? Rupanya fenomena Kopi Pangku di Pantura relate dengan tradisi yang ada di Korea. Berabad-abad lalu di Korea, para perempuan penyaji minuman berada di jantung kebudayaan istana. Mereka disebut gisaeng atau Kisaeng.

Pada masa Dinasti Goryeo (918-1392) hingga Joseon (1392-1897), gisaeng dilatih dengan disiplin: menari, menyanyi, merangkai puisi, hingga menuangkan arak-soju atau makgeolli-dengan cara yang dianggap estetis. Minuman adalah medium percakapan, alat diplomasi, sekaligus gelanggang seni.

Jika kopi pangku adalah improvisasi jalanan, arak Joseon adalah teater kecil yang dirancang negara. Gisaeng hidup di bawah patronase istana; gerak mereka diatur, pekerjaannya diawasi. Namun garis batas antara seni pertunjukan dan pekerjaan pendampingan pria selalu kabur-lebih elegan dari Pantura, tetapi sama-sama bekerja dengan tubuh dan keterampilan sosial.

Kisaeng, para perempuan penyaji minuman berada di jantung kebudayaan istana Korea. Foto: SweetandtastyTV

Laurie Lee, Guru Besar bidang musik dari Universitas Pennsylvania dalam risetnya menyebut profesi itu sebagai "pekerjaan hiburan yang sekaligus pekerjaan pendampingan." Peran itu kemudian berubah drastis setelah kolonial Jepang masuk: patronase istana memudar, digantikan kontrol polisi dan pasar hiburan yang lebih keras.

Kopi pangku dan arak Joseon berada di dua dunia berbeda-yang satu lahir dari ekonomi pinggir jalan, yang lain dari estetika kerajaan. Namun keduanya menunjukkan hal yang sama: betapa minuman sering menjadi bahasa yang lebih jujur, terutama ketika disajikan perempuan di ruang remang.

Di film Pangku, Reza menangkap esensi itu: bahwa secangkir kopi bukan cuma suguhan, melainkan setting untuk kehidupan yang tak pernah tercatat di buku sejarah. Sama seperti gisaeng yang kini lebih sering muncul di drama Korea ketimbang arsip resmi.




(adr/adr)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork