Bakpia Pathok 25 bukan yang pertama ada di Yogyakarta, tapi di bawah pengelolaan Siek Angling Saputra Sanjaya dia tumbuh menjadi yang terbesar hingga kini. Apa saja strateginya?
Bakpia adalah makanan hibrida, produk budaya hasil persilangan antara tradisi makanan Tionghoa dengan cita rasa warga bangsa Nusantara yang kemudian dianggap menjadi bagian tidak terpisahkan dari tradisi kuliner masyarakat Yogyakarta. Salah satu produsen terbesar penyedia makanan khas bakpia adalah Pathok 25.
"Penilaian ini merujuk data dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Yogyakarta yang didasarkan pada jumlah produksi harian, pelibatan tenaga kerja, perputaran omzet, dan setoran pajak yang disumbangkan ke negara," tulis Prof M. Alie Humaedi dalam buku 'Babahe Bakpia Pathok 25: Pelipur Bara Keistimewaan Jogja' dikutip detikFood, Selasa (30/9/2025). Buku setebal 257 halaman itu diterbitkan Agustus 2025 oleh Penerbit Buku Kompas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada awalnya, usaha ini dikenal sebagai Bakpia Pathok 38 yang dirintis oleh Tan Aris Nio, ibu dari Siek Siang Kwang alias Siek Angling Saputra Sanjaya. Namun, pada 1997 angka itu diganti dengan '25' yang dalam bahasa Jawa disebut 'Selawe'. Penyebutannya lebih ringkas, akrab, dan mudah diingat ketimbang 'tiga puluh delapan'.
Angka 25 juga merepresentasikan kebersamaan keluarga: '2' melambangkan dua pewaris utama yakni Siek Moy Lan (Siek Lita Sanjaya) dan Siek Angling Saputra Sanjaya. Sementara "5" adalah jumlah anak lainnya dari Tan Aris Nio dan suaminya, Siek Tek Ong. Selain itu, angka 25 berarti 2 ditambah 5, yang berarti 7, angka ini menunjukkan jumlah anak dari Tan Aris Nio dan Siek Tek Ong.
Tan Aris Nio merintis usaha kue bakpia pada 1981, seperti juga digeluti beberapa tetangganya di Jalan Pathuk, Yogyakarta. Usaha ini ditempuh setelah beberapa kali gagal berdagang makanan yang lain, seperti bakmi goreng, kacang telur rentengan dan telur asin, es lilin, dan bakpao. Tan berjibaku melakukan semua itu untuk menghidupi ketujuh anaknya setelah sang suami, Sie Tek Ong, yang sehari-hari pedagang keliling tembakau dan rokok lintingan, berpulang pada 28 Desember 1971.
Atas usul anak perempuannya, Lita Sanjaya, pada 1986 bakpia produksi Tan diberi 'tanda kenal'' sesuai nomor toko yang disewa di Jalan Patuk, yakni 38. Sebelum itu di tokonya hanya tertulis, "Jual rokok, kelontong, sedia bakpia". Namun penamaan produk bakpia telah lebih dulu dilakukan tetangganya, yakni Bakpia 75.
![]() |
Karena itu sebagai bagian strategi pemasaran, Lita kembali mengusulkan agar di kemasan bakpia ada pembeda dengan menambahkan tulisan, "Oleh-oleh khas Yogya". Dua tahun kemudian, Bakpia Pathuk 38 mulai mencantumkan kata 'Halal' dan kata 'depan masjid' pada alamat toko di kemasannya. Hal ini untuk menguatkan citra produk sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas.
Lita dan Siek Angling Saputra Sanjaya menjadi pewaris utama usaha tersebut setelah Tan berpulang pada 1989. Relasi keduanya tak selalu mulus. Apalagi sebagai anak bungsu, Siek Angling, sempat menjalani fase pencarian jati diri dengan cara tidak sehat. Ia kerap mabuk-mabukan dan berjudi.
Namun ketika Siek Angling insyaf dan menawarkan sejumlah konsep manajemen untuk perbaikan dan kemajuan usaha mereka, Lita pun manut. Sebagai kakak, dia kemudian memilih berada di belakang layar.
Setidaknya ada enam pakem produksi yang mereka sepakati, yakni penggunaan tepung terigu dengan komposisi yang tepat. Pemilihan bahan baku ini di bawah pengawasan langsung Siek Angling. Begitu pun dengan pemilihan kacang hijau dan gula. Namun soal komposisi adonan, kemahiran kontrol ada pada Lita dan keponakannya, Amelia.
"Bagi Siek Angling,kacang hijau merupakan elemen terpenting dari produksi bakpia. Kesalahan memilih jenis atau kualitasnya, cita rasa bakpia bisa jadi hambar, pahit, atau mudah tengik," tulis Prof Alie Humaedi.
Lita maupun Siek Angling juga menjaga kualitas produk dengan tidak menggunakan pemanis buatan dan bahan pengawet. Di luar soal bahan baku, Alie melanjutkan, Siek Angling sangat memperhatikan aspek kebersihan dan higienitas selama proses produksi dan sesudahnya.
Meski fokus utamanya adalah kisah sukses Bakpia Pathok 25, tapi Prof M Alie Humaedi sejatinya juga memaparkan lebih dalam mengenai bakpia dalam tradisi kuliner masyarakat Tionghoa. Bakpia adalah sejenis jajanan yang biasanya dihidangkan pada perayaan keluarga, seperti ulang tahun orangtua dan anak, acara pernikahan, acara kumpul keluarga, dan lainnya.
Jajanan ini juga sering dihidangkan pada perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap leluhur, seperti sesaji, kunjung makam leluhur, Imlek, dan lainnya. Nama asli bakpia dalam tradisi kuliner masyarakat Tionghoa adalah tou luk pia, yang berasal dari dialek Hokkian. Secara harfiah berarti kue berisi daging.
Dari paparan buku ini membuat kita menyadari bahwa di balik sepotong bakpia yang tampak sederhana ada sejarah panjang, pengorbanan, ketekunan, dan nilai kebudayaan yang diwariskan lintas generasi.
(adr/adr)