Setengah Abad Eksis, Sate Domba Garut Matuh Terancam Tak Ada Penerus

Setengah Abad Eksis, Sate Domba Garut Matuh Terancam Tak Ada Penerus

Sudrajat - detikFood
Kamis, 11 Sep 2025 15:00 WIB
Sate Domba Garut Matuh
Foto: Sudrajat
Garut -

Untuk masyarakat Indonesia, daging kambing lebih populer untuk dijadikan menu sate ketimbang domba. Namun di Garut menjadi pengecualian sebab di daerah ini terkenal sebagai peternakan domba dengan tanduknya yang baplang.

"Sepengetahuan saya domba garut itu awalnya lebih banyak ada di Limbangan, kalau kambing kan dari Jawa. Jadi sebetulnya ya sate-sate yang dijual di Garut ini pasti kebanyakan dari domba," ungkap Endang Sopandi, 70 tahun, saat berbincang dengan detikFood di kedai 'Sate Domba Garut Matuh'.

Kedai ini salah satu yang sohor di Garut, dan sudah eksis selama setengah abad alias 50 tahun. Perintisnya adalah Siti Romlah pada 1975. "Saya baru meneruskan pada 1980-an," imbuh Endang yang bertindak sebagai kasir. Sehari-hari ia dibantu enam pekerja sebagai pembakar, penghidang, dan bagian bersih-bersih di dapur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sate domba garut Matuh sohor karena kualitas rasanya. Hal itu dimungkinkan berkat pemilihan domba, pengolahan pasca potong, pembakaran, hingga bumbu kacang yang khas.

Sate Domba Garut MatuhSate Domba Garut Matuh sudah eksis selama 50 tahun. Foto: Sudrajat

Setiap daging hewan yang baru dipotong, kata Endang, pasti kondisinya agak basah. Juga ada campuran darah putih. "Agar tidak menimbulkan bau sebaiknya cukup dilap dengan kain bersih, jangan dicuci," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Kiat tersebut yang membuat daging-daging paha yang menggantung di kedai Matuh tak beraroma dan tak dirubungi lalat. "Dengan cara itu saya tak perlu lagi disinfektan pengusir lalat," imbuh Endang.

Soal teknik dan lama pembakaran agar daging matang dengan merata, seraya tersenyum tipis dia menggeleng. Tak ada takaran pasti, semua berdasarkan feeling. Asalkan arang hitam membara dengan baik, dan daging yang telah diolesi bumbu dibolak-balik dengan baik, kata Endang, pasti menghasilkan tingkat kematangan yang merata.

"Bahwa feeling saat membakar kurang baik, pelanggan komplen kurang matang ya tinggal dibakar ulang saja," ujarnya enteng. Namun hal itu nyaris tak pernah terjadi.

"Alhamdulillah semua yang makan di sini mah mengaku puas. Enak, lezat, empuk. Malah suka ada yang nambah atau minta dibungkus untuk oleh-oleh," tuturnya.

Selain sate, Endang Sopandi cuma membuat gule. Atau sesekali membuat tongseng sesuai pesanan pengunjung. Untuk bumbu dan rempah gule, Endang membungkusnya dengan kain sebelum direndam. Cara ini untuk menjaga agar bumbu tidak mudah larut.

Andai kuah sudah terlalu kental, dia akan mengangkat kantong bumbu rempah untuk ditiriskan. Bila kuah berkurang dia akan menambahkan dengan air dan bungkusan bumbu rempah itu akan dicelupkan kembali.

Endang Sopandi, sosok pemilik Sate Domba Garut Matuh yang sudah berjualan sejak 1980an.Endang Sopandi, sosok pemilik Sate Domba Garut Matuh yang sudah berjualan sejak 1980an. Foto: Sudrajat

Selama 40 tahun melanjutkan usaha kuliner sang Ibu, Endang sepertinya tak pernah ngoyo. Dia menjalani apa adanya. Karena itu dia tak pernah berniat membuka cabang di tempat lain. Alasannya, sesuai makna kata 'Matuh' yang disematkan ke warungnya, yakni konsisten di satu tempat.

Toh begitu, diam-diam di usia yang kian senja, Endang Sopandi sebetulnya menyimpan kegelisahan tersendiri. Kedua anaknya sejauh ini tak ada yang tertarik untuk melanjutkan usaha tersebut. Mereka, kata dia, sudah asyik dengan usaha masing-masing sesuai minatnya.

Jadi, kalau suatu hari kelak Bapak berpulang, Warung Matuh ini tak ada yang melanjutkan? "Ya, biarkan saja berjalan apa adanya. Gusti Aloh yang maha tahu," ujarnya pasrah.

(adr/adr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads