Ada yang istimewa saat makan malam di Restoran Marmara Hotel Hilton Madinah, Rabu (29/5/2024). Di antara deretan menu tradisional Nusantara seperti daging tunjang dan ikan bakar, juga tersedia dua wadah khusus berisi pempek Palembang.
Namun menu terakhir ini rupanya bukan kreasi dua chef kawakan di Hilton, Muslim (32 tahun) dan Pipiet Purwanto (50 tahun), melainkan oleh-oleh seorang jemaah.
"Itu saya bawa sendiri dari Palembang, mereknya King yang sudah lama menjadi langganan kami. Jumlahnya 100 buah," kata Eko Indra Heri, jemaah paket Al Fath Maktour kepada detik.com.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Kapolda Sumatera Selatan itu membawanya serta ke dalam bagasi. Agar tidak memicu bau amis yang khas, Pempek jenis adaan, telor kecik, kulit dan lenjer itu kardusnya divakum sedemikian rupa. "Juga biar lebih awet," ujarnya.
Meski jumlahnya mencapai 100 buah tentu tak semua Jemaah kebagian sajian khas yang terbuat dari adonan ikan dan sagu itu. Maklum, beberapa Jemaah terlihat sangat antusias untuk mencomotnya lebih dari 2 potong. Rata-rata Jemaah mengaku puas dengan rasa pempek King tersebut.
![]() |
"Ini bikin kangen kampung halaman. Apalagi pas menghirup cukanya asli wong kito galo. Pempek kulitnya lezat, nambah terus," kata Andromeda Mercury dari TV One.
Begitu juga dengan pengakuan Iqbal Arief Ismail yang berasal dari Bukittinggi. "Pempeknya crunchy, gurih, campuran ikannya cukup kuat. Apalagi cukonya, manis pedasnya bikinn nagih," ujarnya.
Menurut buku 'Teks Bacaan Berbasis Budaya Lokal Sumatera Selatan Bagi Siswa Sekolah Menengah Kejuruan' karya Rita Inderawati dkk, pempek dikenal di Palembang seiring masuknya perantau Tionghoa pada sekitar abad ke-16 di masa Sultan Badaruddin II. Pada masa tersebut, makanan ini disebut dengan 'kelesan' yakni biasa disajikan dalam acara adat di dalam Rumah Limas. Diberi nama kelesan mengacu kepada alat untuk menghaluskan daging ikan.
Awalnya, pempek dibuat oleh orang asli Palembang yang kemudian dititipkan ke orang Tionghoa untuk dijual. Pempek tersebut mulai dijual oleh orang-orang China pada tahun 1916 dengan cara dijajakan sambil keliling dari kampung ke kampung dengan berjalan kaki.
![]() |
Biasanya, jajanan tersebut dijual di kawasan keraton, yang saat ini adalah kawasan Masjid Agung dan Masjid Lama Palembang.
Penamaan nama pempek berasal dari nama panggilan oleh pembeli kepada si penjual kelesan yang dipanggil dengan 'empek' atau 'apek' yang dalam bahasa China berarti "paman".
Para pembeli memanggil penjual kelesan tersebut dengan memanggil 'Pek, empek' yang akhirnya dikenal sebagai pempek dan bertahan hingga sekarang.
(sob/odi)