Eksistensi minuman tradisional seperti cendol dawet kini mendapat tantangan tersendiri. Bukan cuma dorongan inovasi rasa tetapi juga meraih pasar yang lebih luas, agar minuman khas Jawa ini tak hilang dan makin dicintai.
Supendi (48) adalah salah satu pedagang cendol dawet sagu keliling yang sukses mendistribuskan produknya ke kafe kekinian dan tempat wisata di Kafe Sawah, Pujon, Kabupaten Malang.
Beredarnya minuman khas Dusun Lasah, Desa Tawangargo ini berawal dari pemilik The Roudh 78 di Kafe Sawah yang kepicut dengan rasa cendol dawet sagu milik Supendi yang khas. Betapa tidak, cendol dawet buatannya berbahan baku sagu yang pas dikombinasikan dengan gula aren cair dan santan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dawetnya emang ada khasnya gitu lho rasanya. Kadang kan kalau bikin sendiri itu entah di santannya kurang pas, gulanya kurang gimana, jadi kayak kalo bikin sendiri susah. Emang punya Bapaknya pas rasanya enak juga," kata Manager The Roudh 78, Fella, kepada detikcom beberapa waktu lalu.
![]() |
Fella mengaku banyak pengunjung dan pelanggan The Roudh 78 yang penasaran dengan cendol dawet sagu lantaran teksturnya mirip boba dan harganya murah hanya Rp 5.000 saja. Bahkan, restoran sekaligus tempat wisata ini pernah kewalahan memenuhi pesanan, utamanya saat musim kemarau.
"Kalau pas musim panas kan banyak peminatnya kadang malah sampai ambil dua kali, ambil satu kali itu kurang, kadang kan takut nggak habis kalau langsung yang banyak. Jadi kita ambil 100 porsi nanti jam berapa gitu udah kurang lagi, telepon Bapaknya," terangnya.
Mendengar hal itu, Supendi yang telah berjualan puluhan tahun ini senang, cendol dawet sagu khas Lasah bisa dicicipi pengunjung bahkan dari ibu kota. Dari penjualan kafe dia bisa mengantongi uang Rp 150 ribu hingga Rp 200 ibu. Namun saat ini karena tempat wisata sepi akibat pademi, terpaksa Roudh 78 tidak bisa mengambil lagi cendol dawet milik Supendi hingga tempat wisata kembali ramai.
"Harapan saya ke depan bisa masuk ke kafe-kafe lain, bisa cari peluang pasar di kafe-kafe itu. Harapannya ekonomi cepat bangkit juga,"
Supendi juga bersyukur bukan hanya The Roudh 78 yang mendukung produknya melainkan juga Bank BRI yang selama ini bukan hanya membantu dirinya tetapi juga para pedagang cendol dawet di dusunnya. Supendi dan rekannya sudah mendapat berbagai fasilitas berdagang hingga pinjaman lunak. Sehingga mereka tidak lagi memikul beratnya pikulan cendol dawet sekarang hampir semua pedagang sudah memakai motor untuk berkeliling jualan.
Sementara itu, Kepala Cabang BRI Malang Soekarno Hatta, Hendra Winata, menjelaskan adanya paguyuban cendol dawet sagu ini turut membentuk klaster ekonomi dalam lingkaran-lingkaran bisnis. Oleh karena itu, Hendra menyampaikan pihaknya turut mengenalkan berbagai hal untuk mengembangkan UMKM ini agar dapat berkembang lebih maju lagi.
"Terkait dengan cendol dawet ada standarisasi gerobak (rombong), sebelumnya gerobak cendol dawet yang ada di sini itu macem-macem. Akhirnya kita standarkan semua warnanya sama, kemudian sudah mulai ada logonya sehingga orang bisa mengenali kalau ini dawet sagu dari Lasah," ucap Hendra.
Perkembangan perekonomian dalam klaster ini juga disebut Hendra sudah terlihat dari perubahan para pedagang yang sebelumnya berjualan hanya menggunakan pikulan, sekarang telah memanfaatkan kendaraan bermotor. Saat ini, terangnya, jumlah pedagang yang masih memikul hanya 3 orang saja.
Dengan perubahan ini, Hendra menilai para pedagang dapat memperluas daerah pemasaran dari masing-masing pedagang dan mengenalkan cendol dawet tidak hanya di lingkungan desa, tapi juga di lingkungan kecamatan atau bahkan se-Malang Raya.
Kisah Supendi dan keluarga menjadi satu dari kumpulan kisah dalam program Jelajah UMKM ke beberapa wilayah di Indonesia. Program ini mengulas berbagai aspek kehidupan warga dan membaca potensi di daerah. Untuk mengetahui informasi lebih lengkap, ikuti terus beritanya di detik.com/tag/jelajahumkmbri.
(mul/mpr)