Siapa suka cendol dawet? minuman tradisional dengan rasa manis gurih yang kaya santan selalu menjadi pilihan saat cuaca terik. Namun, jika biasanya menemui cendol dawet berwarna hijau dari tepung beras, nyatanya ada varian lain cendol dawet sagu loh.
Cendol dawet sagu ini bukan minuman baru di kawasan Malang Raya. Ada satu dusun bernama Lasah di Desa Tawangargo, Kabupaten Malang yang kelompok pedagangnya membuat sekaligus menjual cendol dawet sagu ini. Mereka pun menamai cendol dawet tersebut sebagai cendol dawet sagu khas Lasah.
Dia bersama kakaknya sudah berjualan sejak tahun 1970-an hingga kini dia menjadi satu-satunya penemu cendol dawet setelah dua kakaknya terlebih dahulu berpulang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan bahasa Jawa halus, Trisunu menjelaskan asal muasal resep itu tercipta karena harga tepung beras yang mahal dan dan dawet yang dihasilkan sedikit. Bukan cuma dawetnya saja, Trisunu dan kakak-kakaknya juga mengombinasikannya dengan gula merah dan santan sehingga membuatnya cendol dawet sagu khas Lasah ini semakin istimewa.
"Setelah dari situ, saya berjualan dari tahun 1978-2000. Saya berjualan berpindah-pindah, 3 tahun berjualan di satu desa, tahun-tahun selanjutnya berjualan di desa lain, sampai ke kecamatan Pujon, Pujon Kidul, Desa Ngabab, Ngroto, terakhir di Santrean Batu pada tahun 2000. Setelah itu saya berhenti, dan dilanjutkan oleh saudara-saudara, ya adik, keponakan, para tetangga, dan anak-anak sekitar juga jadi banyak yang berjualan es dawet," jelasnya panjang lebar kepada detikcom beberapa waktu lalu.
![]() |
Lalu bagaimana cara membuat cendol dawet sagu khas Lasah ini? Trisunu membagikan resepnya. Pertama, siapkan bahan-bahan terlebih dahulu, seperti sagu, air, santan, gula merah yang sudah dicairkan, gula pasir dan garam.
"(Tepung) Sagu diratakan (disaring) menggunakan kain tudung dari ampasnya, kemudian direndam dan didiamkan semalaman. Mungkin 6-7 jam lalu airnya dibuang dan diganti dengan air yang bersih, kata Trisunu.
Kemudian sagu yang sudah direndam dicampur air dan dimasak lalu diaduk terus hingga ringan dan mengental. Jika sudah siap adonan sagu tersebut diayak atau dicetak. Di bawah cetakan tersebut tempatkan wadah yang sudah diisi air dingin.
"Lalu santannya dari buah kelapa yang bagian luar dan dalamnya diambil sampai benar-benar bersih supaya santannya tidak mudah asam atau basi. Lalu kelapanya digiling dengan mesin dan diperas dengan ayakan tembaga. Untuk satu toples, kelapa yang dibutuhkan sekitar 6-7 buah, tetapi kalau mau lebih enak juga bisa ditambah kelapanya. Kemudian untuk gulanya itu dari campuran gula putih, gula aren, dan garam," sambungnya.
![]() |
Kakek yang masih rajin ke ladang untuk beternak ini mengingatkan untuk memilih sagu yang berkualitas sebab jika tidak bisa menyebabkan dawetnya menggumpal dan gagal.
Sementara itu, Supendi yang merupakan penerus sang ayah, mengatakan proses pembuatan cendol dawet ini memakan waktu kurang lebih 2 jam. Tanpa pengawet dan santan instan, cendol dawet ini bisa bertahan 6 sampai 7 jam.
Berbeda dari bapaknya, cara berjualan Supendi sudah banyak berubah. Jika dulu dipikul kini Supendi bisa berdagang dengan sepeda motor sehingga lebih ringan.
Supendi pun bersyukur bisa mendapatkan bantuan pinjaman dari BRI untuk membeli motor. Pun tak hanya itu, Supendi juga mendapat batok untuk wadah dawet hingga payung dan rombong serta gerobak dari CSR Bank BRI.
"Saya terima kasih ke BRI telah membantu memberi mangkok, pelatihan, beri payung supaya cendol dawet tetap ada," pungkasnya.
Kisah cendol dawet ini menjadi satu dari kumpulan kisah dalam program Jelajah UMKM ke beberapa wilayah di Indonesia. Program ini mengulas berbagai aspek kehidupan warga dan membaca potensi di daerah. Untuk mengetahui informasi lebih lengkap, ikuti terus beritanya di detik.com/tag/jelajahumkmbri.
(mul/ega)