Tahun ini, kopi dari Desa Pegundungan masuk empat besar The Best Indonesian Coffee. Predikat tersebut diraih pada Kontes Kopi Spesialti Indonesia (KKSI) yang diselenggarakan oleh Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) di Yogyakarta tahun 2018.
"Kopi di Desa Pegundungan ini diberi nama Kopi Senggani. Kebetulan tahun ini masuk 4 besar The Best Indonesian Coffee pada KKSI di Yogyakarta," kata Kepala Desa Pegundungan, Murti usai panen kopi, Selasa (22/12/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Namun demikian, Murti mengatakan penanaman kopi tidak serta-merta diterima oleh warga di Desa Pegundungan. Di awal penanaman kopi akhir 2012 lalu banyak warganya yang menolak untuk menanam kopi.
Saat itu, PT Indonesia Power Unit Pembangkitan (UP) Mrica memberikan bibit kopi jenis arabika. Tujuannya, untuk mengurangi erosi yang berdampak pada sedimentasi di waduk PLTA Mrica. Sehingga, daerah aliran sunga (DAS) yang berada di hulu Serayu ditanami tanaman keras.
"Awalnya 99 persen warga menolak. Tetapi setelah mulai panen lambat laun warga mulai mau menanam kopi. Karena dari sisi perawatan dan hasil lebih menguntungkan," terangnya.
![]() |
Saat ini, hasil panen kopi sudah tersebar ke berbagai kota besar di Indonesia. Harganya, kopi Senggani green bean dijual Rp 90 ribu per kilogram.
"Di Desa Pegundungan ketinggiannya antara 1300-1500 mdpl. Ini cocok untuk menanam kopi. Makanya, dengan nama Senggani kami berharap warga mau beralih dari tanaman semusim ke tanaman konservasi yang memiliki nilai ekonomis lebih," paparnya.
Saat ini, ada 15 desa di hulu aliran sungai serayu yang mulai ditanami kopi. Langkah ini untuk mengurangi dampak sedimentasi waduk. 15 desa tersebut berada di kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo. (lus/odi)