Nyaris Kelaparan, Masyarakat Sudan Selatan Bertahan Hidup dengan Makan Biji Teratai

Nyaris Kelaparan, Masyarakat Sudan Selatan Bertahan Hidup dengan Makan Biji Teratai

- detikFood
Kamis, 11 Sep 2014 13:45 WIB
Foto: BBC
Jakarta - Desa Reke yang dihuni 3.000 pengungsi kasus konflik antara pemerintah dan pemberontak dalam ambang bencana kelaparan. Keadaan makin parah pasca hujan besar yang meneghentikan semua bantuan makanan ke daerah tersebut.

Desa ini terletak 650 km dari Juba, ibukota Republik Sudan Selatan. Sebagian besar warga adalah grup etnik Nuer yang sama dengan Riek Machar, pemimpin regu pemberontak Sudan Selatan.

Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir yang berasal dari grup Dinka menuduh Riek akan melakukan kudeta pada bulan Desember. Tuduhan tersebut dibantah, tapi setelah itu Riek memimpin pasukan pemberontak untuk melawan Presiden Salva.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih dari 1,5 juta jiwa kehilangan tempat tinggal karena konflik ini. PBB telah memperingatkan Sudan Selatan akan bencana kelaparan yang menimpa akhir atau awal tahun depan. Dengan musim hujan yang melanda daerah tersebut banyak jalan yang harus ditutup dan pengantaran makanan dari World Food Programme (WFP) menjadi terganggu.

“WFP telah membantu masyarakat di Reke tapi bantuan makanan hanya datang sekali dalam dua bulan. Lihatlah masyarakat di sini, mereka menghadapi kelaparan,” tutur salah satu warga desa kepada BBC (11/09/2014).

Saat ini warga di desa Reke bertahan hidup dengan konsumsi teratai dari sungai terdekat. Biji bunga teratai dikumpulkan, ditumbuk, dan dicampurkan dengan air lalu dibuat menjadi hidangan. Beberapa kilometer dari Reke, terdapat klinik untuk merawat anak yang menderita malnutrisi parah.

Sejak konflik mulai pecah pada bulan Desember lalu, klinik yang dikelola oleh International Rescue Committee telah merawat 16 anak setiap minggu. Angka tersebut terus menurun akhir- akhir ini hingga tersisa hanya enam anak.

“Kami tidak yakin apakah hal ini berarti peningkatan kesehatan atau karena cuaca buruk banyak masyarakat yang tidak mempunyai akses ke klinik. Beberapa kali ditemukan beberapa warga yang berjalan kaki selama enam jam untuk mencapai pusat kesehatan,” tutur Peter Manyang selaku petugas klinik tersebut.

Sementara itu, agensi bantuan dari PBB berpacu dengan waktu untuk mengirimkan berton- ton makanan, obat- obatan bagi warga yang mengungsi. Menurut juru bicara Unicef, Doune Porter dengan konflik yang berkepanjangan dikhawatirkan situasi ini akan semakin buruk.

(dni/odi)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads