Studi di jurnal Science menyebutkan bahwa tanaman jagung yang ditanam rapat-rapat ternyata lebih sensitif terhadap kelangkaan air. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan pasokan pangan di masa depan seiring kenaikan suhu bumi.
Berdasarkan artikel AFP (01/05/2014), AS adalah eksportir jagung terbesar di dunia yang mengirimkan sekitar 40% dari total jagung dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, dua dekade belakangan ini, tanaman jagung semakin rentan terhadap kekeringan. Masalah ini mengkhawatirkan karena kebanyakan tanaman jagung di AS bergantung pada hujan alami, bukan irigasi.
Jika prediksi iklim di midwestern AS (yang dikenal sebagai 'Sabuk Jagung') di masa depan benar, panen jagung bisa anjlok 15-30% dalam 50 tahun ke depan. "Secara keseluruhan, panen akhir-akhir ini adalah kabar baik. Namun, karena hasil panen paling cepat meningkat pada cuaca yang baik, kebutuhan akan cuaca tersebut meningkat.
"Dengan kata lain, dampak negatif cuaca panas dan kering meningkat, sementara perubahan iklim diperkirakan akan membuat cuaca demikian semakin sering terjadi," David Lobell, pemimpin studi dari Stanford University.
Kedelai sering direkayasa genetik di AS, namun tak ditanam semakin rapat beberapa tahun terakhir. Berbeda dengan jagung, kedelai tak semakin rentan terhadap kekeringan seperti jagung.
Studi ini berdasarkan analisis lebih dari sejuta catatan asuransi Departemen Pertanian Amerika Serikat antara 1995-2012. "Penelitian tersebut meningkatkan potensi kecemasan pada 2050, ketika panen diproyeksi menurun dengan kecepatan tinggi," tambah Donald Ort dan Stephen Long dari University of Illinois.
Mengubah cara jagung ditanam hanya bisa mengatasi masalah sebatas itu. Kuncinya terletak pada mengurangi emisi karbon yang terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil yang mendorong pemanasan global.
"Satu-satunya solusi yang nyata adalah menghindari emisi karbon dioksida yang akan menaikkan suhu bumi," tulis Ort dan Long.
(fit/odi)