Tak Hanya Islam, Kristen dan Hindupun Punya Aturan Makanan 'Halal' dan 'Haram'

Tak Hanya Islam, Kristen dan Hindupun Punya Aturan Makanan 'Halal' dan 'Haram'

- detikFood
Selasa, 09 Des 2014 17:42 WIB
Ilustrasi: Getty Images
Jakarta - Meski sudah berlalu, kunjungan LPPOM MUI ke Universitas Udayana (Unud) Bali pada Oktober meninggalkan pengalaman menarik. Pembicara beragama Islam, Kristen, dan Hindu duduk semeja dan membahas topik 'Tinjauan tentang Halal'.

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Provinsi Bali sengaja mengajak pembicara dari agama lain agar sosialisasi halal di kampus yang civitas akademikanya mayoritas beragama Hindu ini berjalan lancar.

Seminar tersebut berlangsung pada 10 Oktober lalu sebagai bagian dari program 'Halal Masuk Kampus'. Di depan sekitar 60 orang dosen dan mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unud, tiga dosen dari latar belakang agama berbeda berbicara. Mereka adalah Prof. Dr. drh. Iwan H. Utama, MS. (Kristen), Dr. drh. I Ketut Suatha, MSi. (Hindu), dan drh. Mas Djoko Rudyanto, MS. (Islam).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Iwan menyampaikan bahwa ajaran Kristen mengenal 'makanan bersih dan kotor'. Makan itu penting dan berguna, namun tidak semua makanan bermanfaat. Makananpun bisa jadi pembunuh tersembunyi (silent killer) jika tak bijaksana mengonsumsinya.

Aspek konsumsi ini diatur dalam Alkitab Perjanjian Lama, di antaranya Imamat Ps. 3 (3-10, 17), Ps. 10 (19, 20), Ps. 11 (2-47), Ps. 17 (3-15), Ulangan Ps. 14 (3-21), Ps. 15 (19-23), dan Keluaran Ps. 29 (13, 22).

Makanan yang tergolong bersih di antaranya hewan berkuku belah dan memamah biak (sapi, kambing, domba, rusa, kijang), bersirip dan bersisik di dalam air, merayap, serta bersayap, dan melompat (belalang).

Sementara itu, makanan yang masuk kategori kotor di antaranya hewan yang tidak berkuku belah dan memamah biak (unta, kelinci, marmot, pelanduk), berkuku belah dan tidak memamah biak (babi, babi hutan), serta tidak berkuku belah dan tidak memamah biak (kuda).

Begitu pula dengan hewan tidak bersirip dan bersisik (belut, lele, udang, kepiting, cumi), burung (rajawali, burung hantu, elang, bangau, camar, kelelawar, gagak, pungguk), serta hewan merayap dan berkeriapan (tikus, katak, landak, biawak, bengkarung, siput, bunglon).

Persembahan kepada berhala, darah, bangkai, hewan yang mati dicekik, hewan pencabulan, serta anak sapi, domba, atau kambing jantan tertua juga tergolong makanan kotor. Namun, makanan ini tidak memberi efek secara langsung.

Iwan menyayangkan, pergantian konsep dari hukum (Perjanjian Lama) ke anugerah (Perjanjian Baru) menimbulkan ketidaktahuan, ketidakmautahuan, serta sikap gambling terhadap makanan yang ada tanpa memperhatikan unsur kesehatan.

Menurut Ketut, Hindu tak mengenal istilah 'halal', melainkan 'tatwa triguna'. Sementara itu, makanan terlarang dalam Bahasa Sansekerta disebut amedhyam.

Bagaimanapun juga, cara berpikir (manah), berkata (wak), sikap (solah pawerti), dan perilaku (kaya) diyakini sangat dipengaruhi makanan. Makananpun dapat memengaruhi jasmani (raga sarira) dan rohani (sukma sarira). Soal makanan diatur dalam kitab Bhagavad Gita Sloka 17 awu7-10.

Makanan dikelompokkan menjadi tiga. Kelompok pertama adalah satwikaguna, yakni makanan yang jika dikonsumsi dapat meningkatkan kualitas hidup, memanjangkan umur, menambah tenaga, menghadirkan rasa nyaman, mempertinggi kecerdasan, serta menyehatkan. Contohnya adalah makanan yang memiliki banyak sari, berlemak, bergizi, dan menyenangkan hati.

Berlawanan dengan kelompok pertama, ada makanan rajasikaguna yang jika dikonsumsi dapat menimbulkan emosi, sakit, atau duka cita. Misalnya, makanan yang terlalu pahit, asam, pedas, kering, panas atau menyebabkan badan terasa panas, atau banyak bumbu.

Ada pula kelompok tamasikaguna yang menyebabkan malas, tak peduli, pasif, keras kepala, dan bodoh. Contohnya adalah makanan yang dimasak lebih dari tiga jam sebelum dimakan, makanan hambar, makanan yang menginap dan sering dipanaskan, makanan basi dan busuk, makanan sisa orang lain, serta bahan haram yang disukai orang-orang yang bersifat gelap.

Djokopun menyampaikan halal menurut Islam. Materi yang disampaikan di antaranya tentang konsep halal dan tayib, standar penyembelihan halal menurut fatwa MUI Nomor 12 tahun 2009, serta logo dan sertifikat halal.


SUMBER: LPPOM MUI

(fit/odi)

Hide Ads