Pendiri dan CEO International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Profesor Mohammad Hashim Kamali berkomentar mengenai masalah ini pada acara 'Halal Industry from a Global Perspective: Malaysia and Australia' di Kuala Lumpur, Malaysia, bulan lalu.
"Kita memasuki fase baru dalam industri (halal). Ada isu-isu baru yang terus bermunculan yang memerlukan riset karena tidak ditetapkan sebelumnya secara syariah," kata Kamali, seperti diberitakan The Malaysian Reserve (16/12/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perkembangan baru di industri halal, di antaranya bahan tambahan dan pewarna, telah memengaruhi proses pengambilan keputusan di industri tersebut," kata Kamali saat mempresentasikan tren baru industri halal di Halal Forum IAIS.
Menurut Kamali, alkohol yang sering digunakan sebagai pengawet di produk-produk tertentu diperbolehkan dalam dosis rendah, asalkan efek memabukkannya hilang saat diolah.
Menurut badan penetapan standar, penggunaan alkohol telah diatur dalam dua kategori, yakni alkohol dalam makanan (kurang dari 0,1%) dan bahan (kurang dari 0,5%).
Pengacara dan pakar keuangan Islam Fakihah Azhari menguatkan pendapat tersebut. "Isu kontroversial tentang area abu-abu dalam bidang halal adalah kehadiran alkohol dalam makanan dan minuman. Contohnya di AS, standardisasi yang dapat diterima dalam Islam adalah 0,1-0,3% alkohol dalam makanan dan minuman," jelasnya.
Fakihah menambahkan, badan-badan penetapan standar syariah global sependapat bahwa menyingkirkan produk turunan alkohol dosis rendah yang digunakan sebagai pengawet di makanan dan minuman adalah hal yang mustahil untuk saat ini.
"Alkohol bukanlah pokok permasalahannya, melainkan tingkat mabuk alkohol yang haram dalam Islam," ujar Fakihah.
Ia melanjutkan, pengolahan yang menghilangkan rasa, aroma, dan tampilan alkohol menjadikan produk turunan ini bisa digunakan untuk produk-produk halal. Menurut Fakihah, alkohol juga diproduksi oleh tubuh manusia dan ada di dalam sistem kita. Namun, kadarnya terlalu kecil untuk menyebabkan mabuk.
(dni/odi)