Ruby (29) adalah seorang seniman, desainer, dan penulis yang kini tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat. Ia menjadi vegan sejak 2003. Saat mengajar seni di SD, ia menyadari bahwa anak didiknya tertarik dengan pola makan vegan. Hal inilah yang menginspirasi Ruby menerbitkan buku anak-anak pertama tentang veganisme, yaitu 'That's Why We Don't Eat Animals', pada 2009.
Buku tersebut mengenalkan istilah vegetarian dan vegan dengan bahasa yang mudah dicerna. Ruby membandingkan hewan yang berada di habitat alaminya dengan yang berada di peternakan. Dalam buku ini digambarkan bahwa hewan di alam bebas hidup bahagia bersama keluarganya, sementara di peternakan hewan merasa sedih karena akan dijadikan makanan manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sukses dengan buku pertama, kini Ruby sedang bersiap-siap meluncurkan buku keduanya yang berjudul 'Vegan is Love' pada 24 April 2012. Buku ini lebih banyak membahas aspek di luar makanan. Di sini, Ruby mengenalkan veganisme sebagai gaya hidup yang penuh kasih sayang.
Ia menyampaikan pesan bahwa anak-anak dapat melakukan aksi untuk melindungi hewan, lingkungan, dan manusia. Caranya adalah dengan menghindari penggunaan hewan dalam makanan, pakaian, dan hiburan (misalnya sirkus). Ruby juga menuliskan tentang keuntungan cocok tanam organik. Inti pesan yang ia ingin sampaikan adalah 'tuangkan rasa cinta kita ke dalam tindakan nyata'.
Sebagai sarjana seni, Ruby tak menemui kesulitan dalam menggambar ilustrasi buku. Untuk memperluas wawasannya tentang vegetarian dan vegan, ia pun melakukan riset. Peternakan hewan, kesehatan, nutrisi, dan manfaat dari konsumsi sumber nabati ia pelajari selama hampir 10 tahun.
Menurut Ruby, anak-anak punya ketertarikan luar biasa terhadap veganisme. “Saya menerima banyak email dari orang tua yang anaknya terinspirasi melakukan sesuatu untuk menolong hewan,” ujar Ruby kepada Green Parent Chicago.
Ia mengaku tidak ada anak yang takut setelah membaca buku tersebut. “Saya menekankan satu hal kepada mereka: jangan takut jika kita punya kekuatan untuk mengubahnya! Ternyata, mereka menangkap pesan tersebut,” ucap Ruby bangga.
Meski demikian, kehadiran buku ini menuai kontroversi di kalangan orang dewasa. Mereka menganggap veganisme tak cocok untuk anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Selain itu, konten buku ini dinilai belum pantas untuk anak usia 4-10 tahun.
Ruby punya jawaban atas hal ini. “Orang dewasa sudah terikat secara emosional dengan daging. Pola pikir mereka dibentuk oleh kaum mayoritas hingga tak sensitif lagi akan kekerasan terhadap hewan. Kita harus belajar pada anak-anak. Mereka lebih terbuka terhadap gagasan menyelamatkan hewan,” tegas Ruby.
“Ketika dihadapkan dengan realitas betapa buruknya pola makan kita, wajar jika kita jadi membela diri. Bagi saya, reaksi emosional seperti itu justru semakin meyakinkan saya bahwa kita sangat membutuhkan perubahan,” tambah wanita yang sering menjadi konsultan dan juru bicara tentang veganisme ini.
(fit/odi)