Uni Eropa Teliti Serangga Sebagai Sumber Protein Berkualitas

Uni Eropa Teliti Serangga Sebagai Sumber Protein Berkualitas

- detikFood
Selasa, 31 Jan 2012 15:59 WIB
Foto: itthing.com
Jakarta - Di beberapa negara, memakan serangga bukan hal yang aneh. Namun bagi yang tidak biasa, membayangkannya saja sudah bikin perut mual. Kini Uni Eropa justru sedang melakukan riset serangga sebagai pangan alternatif.

Ada lebih dari 1,000 spesies serangga yang sering dimakan manusia. Beberapa di antaranya diyakini bergizi tinggi dan dapat menjadi alternatif. Cacing, misalnya, mengandung protein 3 kali lebih tinggi daripada daging sapi per ons. Selain itu, kalsium dari segelas susu bisa digantikan oleh 4 ekor jangkrik.

Berdasarkan data UN Food and Agriculture Organization, sebanyak 2.5 milyar orang di seluruh dunia secara rutin mengonsumsi makanan berbahan serangga. Ada 80% negara di bumi yang sudah memakan serangga. Karena inilah, PBB dan Uni Eropa mulai melirik serangga sebagai sumber protein alternatif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Demi membiayai penelitian tentang potensi serangga tersebut, Uni Eropa rela menggelontorkan 3 juta Euro (lebih dari Rp 35 milyar). Masalahnya, masyarakat Eropa belum terbiasa dengan makanan berbahan serangga. Oleh karena itu, penggunaan serangga dalam makanan harus 'disamarkan'.

Daniel Creedon, koki London Archipelago Restaurant yang menyajikan menu berbahan semut, belalang, dan lebah berbalut madu, menyetujui hal ini. “Tidak banyak orang yang mau makan 'burger belalang'. Maka, produsen sebaiknya menyebut makanan tersebut 'berbahan protein hewani',” ujarnya kepada Daily Mail.

Nantinya, serangga akan diperkenalkan kepada masyarakat Eropa sebagai bahan aditif dalam burger dan makanan fast food. “Serangga berperan sebagai pemerkaya kandungan protein dalam makanan tersebut. Label yang bisa disematkan untuk menjual makanan ini adalah 'lebih tinggi protein', 'mengandung lemak sehat', atau 'eco-burger',” tulis website Treehugger.

Berbeda dengan bahan pangan konvensional, beternak serangga tidak memerlukan banyak ruang. Mereka dapat dibudidayakan di ruangan tertutup dengan penerangan alami, serta dapat hidup dari limbah, sampah kertas, dan ganggang (lumut).

Beberapa akademisi percaya bahwa dampak lingkungan dan biaya pemeliharaan ternak yang semakin tinggi akan membuat konsumsi serangga tak terhindarkan. Mereka mengklaim kebiasaan tersebut akan meluas pada akhir dekade ini.

“Mempersiapkan dan membuat masyarakat terbiasa terhadap ide ini adalah hal yang paling penting, karena mulai tahun 2020, kita tidak lagi punya banyak pilihan,” kata Prof. Marcel Dicke dari Wageningen University, Belanda.

Riset serangga yang akan diselenggarakan tahun ini merupakan bagian dari program Millennium Development Goals (MDGs) untuk menyiasati kekurangan pangan dan pelestarian lingkungan.



(Odi/Odi)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads